ANDI Wijaya, Kepala Dinas yang satu ini bukan orang sembarangan. Di kantor, ia terkenal sebagai sosok yang pekerja keras, disiplin, dan taat beribadah. Setiap pagi, ia selalu menjadi yang pertama datang ke masjid untuk sholat Dhuha berjamaah.
Setelah itu, ia menghabiskan sisa hari dengan rapat-rapat penting dan menangani proyek-proyek besar yang selalu menyertakan “fee” 5 hingga 15 persen. Fee ini bukan untuk panti asuhan atau yayasan pendidikan, tentu saja fee itu untuk atasan, dirinya sendiri dan anak buahnya.
Di masjid, Andi selalu tampak khusyuk berdoa. “Ya Allah, berikanlah aku rezeki yang barokah, jauhkan aku dari yang haram,” katanya setiap kali selesai salat. Semua orang yang mendengarnya pasti berpikir, “Wah, Pak Andi ini benar-benar orang yang saleh!”
Tapi begitu Andi kembali ke kantor, doanya itu seolah hanya untuk dipraktikkan di dunia maya. Setiap proyek yang ia pegang, ada ‘fee’ yang harus disetorkan. Fee 5 persen untuk atasan yang lebih tinggi, fee 10 persen untuk dirinya sendiri, dan sisa 5 persen lagi untuk anak buahnya agar mereka tetap setia.
Ia pun menikmati kehidupan mewah, rumah besar, mobil mewah, dan istri yang setiap kali keluar rumah selalu mengenakan tas branded dengan perhiasan yang lebih banyak dari jumlah gaji pegawai negeri.
“Sayang, lihat deh, aku dapat bonus lagi dari proyek itu,” kata Andi pada istrinya, Liana, sambil meletakkan setumpuk uang di meja makan. “Sekarang kita bisa beli apartemen di IKN. Tapi, jangan lupa, semua proyek itu harus ada fee-nya, ya. Biar semuanya lancar.”
Istrinya yang selalu tampak senang melihat uang mengalir itu hanya tersenyum lebar. “Tentu, sayang. Yang penting kita bahagia,” jawabnya, seraya mengagumi koleksi tas Tendi-nya yang semakin menumpuk.
Namun, kebahagiaan Andi tidak bertahan lama. Suatu hari, kabar buruk datang. Proyek-proyek yang dikelolanya sedang diselidiki oleh pihak berwajib. Salah satu kontraktor yang merasa “dibebani” oleh permintaan fee tinggi, akhirnya melaporkan Andi ke polisi.
“Pak Andi, ada laporan bahwa Anda meminta fee 15 persen untuk proyek pengadaan barang. Itu tidak masuk akal!” kata polisi saat menangkapnya di kantor.
“Fee? Itu kan biaya operasional!” jawab Andi dengan senyum manis, berusaha bersikap santai. “Ya, fee operasional gitu, buat pembangunan yang lebih baik, biar semuanya lancar. Kalau enggak, kan, proyeknya bisa gagal. Eh, tapi ini bukan salah saya, kan?”
Polisi tidak terpengaruh. “Kami sudah punya bukti, Pak. Semua transaksi ada di sini. Silakan ikut kami.”
Andi pun akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Setelah melalui proses pengadilan, Andi dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Semua hartanya disita, dan kehidupan mewah yang dulu ia nikmati sekarang hanyalah kenangan pahit yang tersisa.
Selama lima tahun di penjara, Andi yang dulu penuh dengan keglamoran kini harus merasakan kerasnya hidup tanpa uang dan harta. Namun, meskipun di penjara, Andi tetap tidak kehilangan kebiasaannya—ia tetap rajin salat lima waktu.
Suatu sore, saat Andi sedang duduk di sudut sel, seorang napi bernama Tono, yang dulu bekerja sebagai kontraktor di salah satu proyek Andi, menghampirinya.
“Eh, Andi! Lo masih salat, nih?” tanya Tono sambil tertawa melihat Andi yang sedang berdiri untuk salat.
Andi mengangguk. “Ya, gue masih salat. Salat itu kan kewajiban, Tono. Tapi, ya gini, loh, gue jadi lebih sering merenung. Dulu gue pikir rezeki itu datangnya dari proyek-proyek besar. Eh, ternyata ya, karma tuh datangnya dari mana aja.”
Tono tertawa. “Lo masih mikirin karma? Kan lo udah makan duit orang banyak tuh, Andi. Lo ingat gak waktu proyek jembatan? Gila, fee-nya bisa buat beli rumah satu komplek, tuh.”
Andi tersenyum pahit. “Ya, gue inget. Tapi gue pikir itu semua halal. Ternyata, di akhirat, gak ada yang bisa nyembunyikan jejak.”
Lima tahun berlalu, dan Andi akhirnya meninggal dunia karena sakit yang tak kunjung sembuh. Tapi, ia tidak tahu bahwa kehidupan setelah mati akan membawa kejutan besar.
Begitu ia membuka mata, Andi tidak berada di surga yang penuh dengan bidadari dan kebahagiaan. Tidak. Ia malah berada di tempat yang sangat panas, dengan api yang menyala-nyala di sekelilingnya.
“Ini di mana, ya?” kata Andi dengan kebingungan. “Jangan-jangan, gue masuk ke restoran Padang yang sambalnya kelewat pedas!”
Tiba-tiba, sosok yang familiar muncul di depannya. Ternyata itu adalah teman-teman lamanya kontraktor, anak buahnya, dan bahkan atasannya yang dulu menerima fee dari proyeknya.
“Heh, Andi! Gimana, rasanya sekarang? Dulu, lo bikin proyek gede-gede, sekarang malah ikut proyek panas di sini!” kata salah satu kontraktor yang dulu sering memberi “setoran” ke Andi.
Andi hanya bisa tertunduk malu. “Gue pikir gue bisa terus hidup enak dengan cara itu, ternyata ini yang gue dapatkan.”
Teman-temannya yang sudah lebih dulu “menyelesaikan proyek” di sana tertawa sinis. “Gak bisa dibeli, tuh, feenya. Di sini, semua bayar dengan perbuatan, bukan dengan uang!” kata teman Andi yang sudah lebih dulu jadi penghuni neraka.
Andi hanya bisa menghela napas. “Kalau gitu, gue cuma bisa minta maaf. Tapi kayaknya permintaan maaf gue gak bakal cukup, ya?” (*)
Toboali, 12 November 2024
Ahmad Yusuf