TANGGAL 3 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia. Di berbagai penjuru dunia, momen ini menjadi pengingat pentingnya peran media dalam menjaga kehidupan demokratis. Namun, di balik gema perayaan, ada satu pertanyaan yang tak kunjung hilang, seberapa bebas pers kita hari ini?
Di permukaan, kebebasan pers seolah telah menjadi milik semua negara yang menyebut dirinya demokratis. Media bisa terbit, jurnalis bisa menulis, dan publik bisa membaca. Tetapi ketika kita telusuri lebih dalam, ada garis batas yang samar, tapi nyata, pers memang bebas, selama tidak menyinggung penguasa. Merdeka, selama tidak membuat gaduh. Boleh bicara, asal tetap “menyenangkan semua pihak”.
Di banyak ruang redaksi, kebebasan tidak selalu berarti keberanian. Ada banyak pertimbangan tak kasat mata yang membatasi isi berita, iklan dari pemerintah, kerja sama dengan lembaga tertentu, bahkan hubungan pribadi antara pemilik media dan pejabat publik.
Tidak sedikit jurnalis yang mengaku harus “bermain aman” agar tidak kehilangan pekerjaan atau akses informasi. Kritik terhadap kebijakan pemerintah atau pejabat publik sering kali harus dipoles menjadi laporan yang datar, tanpa tajuk yang tajam, agar tidak dianggap sebagai serangan. Inilah bentuk kebebasan pers yang dikurung dalam etika semu, boleh mengkritik, tapi jangan terlalu keras. Boleh mengungkap, tapi jangan sampai menimbulkan kegaduhan.
Padahal, kebenaran sering kali tidak nyaman. Dan tugas pers bukan untuk membuat semua orang nyaman, melainkan untuk membuka tabir, meskipun yang terlihat di baliknya menyakitkan.
Bentuk pembungkaman pers hari ini bukan hanya melalui sensor langsung atau kekerasan fisik. Ada tekanan ekonomi, pembatasan akses, dan penggunaan hukum secara selektif yang membuat jurnalis ragu untuk bersuara. Bahkan, tidak sedikit kasus ketika jurnalis justru dilaporkan karena menjalankan tugasnya, menulis berita berdasarkan fakta.
Di Indonesia, pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap digunakan sebagai alat pelapor terhadap wartawan. Sementara itu, lembaga pengawas dan perlindungan terhadap jurnalis masih lemah dalam penegakan. Akibatnya, banyak pekerja media yang akhirnya melakukan sensor terhadap diri sendiri, memilih diam demi keamanan pribadi dan keberlangsungan hidup.
Kondisi ini tentu menyedihkan. Karena bagaimana mungkin demokrasi bisa sehat, jika saluran informasi dikendalikan oleh rasa takut?
Dalam sistem masyarakat yang terbuka, pers berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Ia mengawal jalannya pemerintahan, menyuarakan keluhan rakyat, dan menjadi penghubung antara pengambil kebijakan dan masyarakat luas. Tapi fungsi itu akan melemah jika media tidak diberi ruang untuk bersuara secara jujur dan terbuka.
Pers yang independen bukan musuh negara, justru sebaliknya, ia adalah pelindung negara dari penyimpangan kekuasaan. Di negara-negara maju, media bahkan dipercaya sebagai institusi keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Jadi pertanyaannya bukan “kenapa pers terlalu banyak bicara?”, tapi justru “kenapa kita takut mendengar suara yang berbeda?”
Meski tantangan tidak kecil, bukan berarti harapan padam. Banyak jurnalis muda kini tampil dengan keberanian dan integritas yang layak diapresiasi. Media alternatif tumbuh dengan semangat independen, didukung oleh pembaca yang mulai sadar pentingnya informasi yang jujur.
Era digital juga membuka peluang besar. Media tak lagi hanya milik perusahaan besar, tetapi bisa dikelola secara mandiri oleh komunitas dan individu. Dengan keberanian, konsistensi, dan dukungan publik, kebebasan pers bisa terus dijaga, meski dalam ruang yang tidak selalu ideal.
Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025. Mari kita rayakan dengan tidak hanya membicarakan kemerdekaan media, tetapi juga menjaganya. Karena di balik setiap berita yang berani, ada jurnalis yang mempertaruhkan kenyamanan, bahkan keselamatan.
Pers yang bebas adalah pilar penting dalam demokrasi. Namun, ia hanya bisa tegak bila dijaga oleh semua pihak bukan hanya oleh para jurnalis, tetapi juga oleh masyarakat dan negara. Mari kita terus bersuara, bukan untuk membuat gaduh, tetapi untuk menjaga kewarasan bersama. Sebab diam, kadang jauh lebih bising daripada kebenaran yang diucapkan. (*)
Ahmad Yusuf
Toboali 4 Mei 2025




