BI Babel Diserbu DPRD, Dianggap Lempar Tanggung Jawab ke Pusat Soal Rp2,1 Triliun
PANGKALPINANG, MEDIAQU.id — Ketegangan mewarnai rapat audiensi antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dan Bank Indonesia (BI) Perwakilan Babel, Selasa (28/10/2025), di ruang Banggar DPRD.
Rapat yang semula dijadwalkan untuk membahas klarifikasi atas pernyataan Menteri Keuangan RI terkait dana mengendap Rp2,1 triliun milik Pemerintah Provinsi Babel itu justru berubah menjadi forum penuh kritik dan interupsi.
Para anggota dewan menuding BI Babel bersikap pasif, tidak transparan, dan terkesan melempar tanggung jawab ke pemerintah pusat. Mereka menilai BI seharusnya tampil memberikan kejelasan, bukan justru menambah kebingungan publik.
Anggota DPRD Babel, Rina Tarol, menilai sikap BI Babel menunjukkan kelemahan dalam system pelaporan dan komunikasi data keuangan daerah. Ia mempertanyakan siapa sebenarnya pihak yang bertanggung jawab atas kekisruhan informasi dana mengendap tersebut.
“Siapa yang salah dalam hal ini? Apakah BI, atau Bank Sumsel Babel? Seharusnya semua pihak dihadirkan agar jelas duduk perkaranya. Jangan sampai publik terus disuguhi kebingungan,” ujar Rina dengan nada tinggi.
Nada serupa disampaikan Imelda, anggota DPRD lainnya. Ia menilai BI Babel kurang menunjukkan empati terhadap keresahan publik dan justru menambah spekulasi di tengah masyarakat.
“Jangan saling lempar tanggung jawab. Masyarakat menunggu jawaban pasti, bukan diarahkan bolak-balik ke kementerian. Kalau BI berwenang, buka saja datanya secara terbuka,” tegasnya.
Anggota DPRD Babel lainnya, Pahlevi, menilai BI memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk memberikan klarifikasi yang komprehensif. Ia menekankan bahwa pernyataan Menteri Keuangan didasarkan pada data yang berasal dari BI.
“BI harus menjelaskan di mana letak masalahnya. Pernyataan Menteri Keuangan bersumber dari data mereka. Kalau data itu tidak akurat, maka BI harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Menurut Pahlevi, kondisi ekonomi Babel yang sedang tidak stabil menuntut kehati-hatian dalam menyampaikan informasi publik. Data yang simpang siur, katanya, bisa menurunkan kepercayaan investor dan merusak citra daerah.




