Kisah Gusti Kacil, Jejak Penyebaran Islam di Pulau Bangka (Bagian-2)

Gusti Kacil sewaktu meninggalkan Banjar membawa:

1. Sebilah keris pusaka dari Putri Junjung Buih ber lok sembilan, bergagang seperti kepala ular naga, dilapisi emas bertahta intan 99 biji, setiap malam jumat pusaka ini dimandikan dengan kembang dan dirabun (dihasapi ) dengan kayu garu.

2. Seperangkat Tape (kain) Putri Junjung Buih yang bermotifkan Sasirangan.

3. Sebuah tombak tapi sayang tombak ini sewaktu Gusti H. Abdul Samad bin Gusti Kacil wafat tidak tahu keberadaannya.

Apa saja peninggalan Gusti Kacil di desa Kotawaringin Bangka:

1. Rumah peninggalan Gusti Kacil pada saat ini telah diwariskan kepada cicitnya yang tidak terwat di karenakan usia yang sudah mencapai ratusan tahun.2. Surau (Musollah) sekarang menjadi masjid, dahulunya tempat Gusti Kacil mengajar dan berdakwah tentang agama islam.

3. Benteng pertahanan di Kotawaringin sewaktu Gusti Kacil bersama pejuang masyarakat sekitarnya melawan Kompani Belanda.

4. Makam Gusti Kacil di Kotawaringin dalam bahasa Banjar Atang-atang, dalam bahasa Bangka Galang Makam, dalam bahasa Riau Batur didatangkan dari Singapura dibawa oleh anaknya Gusti H. Abdul Samad, makam ini belum diberi gubah.

Bacaan Lainnya

Keturunan Gusti Kacil yang ada di Sumatra masih melakukan tradisi seperti zaman dahulu di Banjar, sepasang pengantin sebelum hari pernikahannya memandikan (mandi pengantin), sebelum pernikahan pengantin wanita khatam Al-Qur’an terlebih dahulu (khatam Al-Qur’an), seorang perempuan yang telah bersuami, kehamilannya yang ketujuh bulan dimandikan (mandi tujuh bulan), setelah melahirkan anak berumur 40 hari ditepung tawarkan (tepung tawar).

Untuk perlengkapan upacara tradisi diatas disiapkan kembang tujuh macam, kue 40 macam, mayang pinang, kain kuning dan juga doa selamat.

Mengapa Syekh H. Abdurahman Siddik sampai ke Pulau Bangka?

Syekh H. Abdurrahman Siddik dilahirkan di Dalam Pagar, Martapura, pada tahun 1857 anak dari Syekh Muhammad Afif (Datu Landak), cucu dari Syekh H. Muhammad Arsyad Al- Banjary (Datu Kelampayan), sebelum melanjutkan belajar ke Mekkah, Syekh H. Abdurrahman Siddik lebih dulu belajar dengan pamannya, Pangeran KH. Muhammad As’ad, di Padang, Sumatera Barat.

Sepulangnya Syekh H. Abdurrahman Siddik dari belajar dan menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah pada tahun 1897 tibanya si Martapura Banjar, orang tuanya Datu Landak dan pamannya Gusti Kacil tidak ada Banjar, mendengar berita dari keluarga yang mana orang tuanya dan pamannya Gusti Kacil berada di Pulau Bangka, menyusul lah Syekh H. Abdurrahman Siddik ke Bangka pada tahun 1899.

Sebelum ke Pulau Bangka Syekh H. Abdurrahman Siddik singgah dulu di Batavia, sesampainya Syekh H. Abdurrahman Siddik di Pulau Bangka, orang tuanya Datu Landak sudah pulang ke Banjar ( selisih jalan), tinggal lah Syekh H. Abdurrahman Siddik bersama Gusti Kacil di desa Puding Besar, Bangka.

Di Pulau Bangka, Syekh H. Abdurrahman Siddik menjalankan misinya sebagai ulama berdakwa tentang agama islam dari desa ke desa lainnya di Pulau Bangka.

Setelah mendapatkan istri beberapa orang dan beberapa anak Syekh H. Abdurrahman Siddik menjalanka misi berdakwah tentang agama islam ke Riau, tepatnya di kota Sapat, Tembilahan, pada tahun 1912, di kota Sapat.

Selain berdakwah Syekh. H. Abdurrahman Siddik juga membuka kebun kelapa di Parit Hidayat, lebih kurang 3Km dari kota Sapat, sekarang Parit Hidayat sudah menjadi desa Hidayat, Syekh H. Abdurrahman Siddik wafat di desa Hidayat pada tahun 1939, dalam usia 82 tahun. (bersambung)

Sumber : H. Gusti Yanto Manaf




 





Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *