
Oleh : Narliswandi Piliang
Di era rutin saban hari menulis ke blog publik, saya menulis berseri soal motor, bila tidak salah sampai VII. Ihwal motor roda dua di Jakarta khususnya. Ya motor. Kalau di Sumbar, kami menyebutnya Honda, laksana Softex, sebutan bagi pembalut wanita, bak era silam foto dijuluki Kodak, berfoto, berkodak.
Awal tahun ini saya berada di kota Belgrade, Serbia. Sempat di pagi sepi dari apartment berjalan kaki hendak ke mini market di udara satu derajad, terdiam, menyimak jalanan tiada motor roda dua.
Tak lama di depan mata lewat mobil pembersih jalan lengkap dengan putaran air pel, tetap bekerja, walau sehelai sampah daun pun tiada.
Lanjut siang, malam, di jalanan utama tak ada motor. Hanya satu dua pengantar makanan ada naik motor itupun bukan di jalanan utama.
Bila menyimak konten saya sebelumnya, akan ketemu foto motor besar di Serbia, justeru ketika menyetir ke luar kota ke arah Kapaonik, kota wisata ski, ketemu BMW R 1250 special edition 40 tahun GS, dibawa week end rutin oleh pengandaranya rata-rata 500 km keliling Serbia.
Pulang ke tanah air saya menyimak di online ada berita markas TNI dilalui rombongan pemotor knalpot brong. Lalu di Polresta Pati, ada patung Ikan dipajang dari bahan knalpot motor brong.
Dan terbaru berita Menkomarves, hendak menaikkan pajak motor bensin.
Saya mengikuti ihwal motor roda dua sejak Orde Baru, kala kementrian perindustrian, Menterinya Alm., Hartarto, ayahandanya Airlangga kini Menko Perekonomian. Era Pak Harto itu tugas utama kementrian, agar memproduksi motor sebanyaknya. Selain memggerakkan industri, pajak motor dan mobil, target utama sunber pemasukan pajak.
Artinya dalam peroanjangan STNK, PBKB tiap tahun pemilik membayar pajak. Artinya pula tanpa menguras pikiran, apalagi kreatifitas, menjadi clue pendapatan negara.
Malah saya ingat di kementrian keungan kala itu kalau pajak kendaraan bermotor diitilahkan kerja tanpa otak, mudah, tqnp keringat, maka mesti diperbanyak di publik.
Saya yakin era Orba itu sudah ada strategi membangun, sembari memperbanyak motor di jalanan, transportasi publik dibangun.
Entah syur dengan kerja tanpa “otak” itu keterusan, jumlah motor di DKI data BPS saja sampai akhir 2022, 17, 305 juta. Asumsi terendah saya hingga Desember 2023, 19 juta motor di DKI Jakarta.
Berapa pemeriman pajak motor itu, jika asumsi rerata harga motor Rp 15 juta maka pjaknya setahun Rp 300 ribu. Maka penerimaan pajak motor roda dua di DKI setidaknya Rp 5,6 triliun.
Berapa jumlah motor seindonesia dan pemerimaan pajaknya?
Saat ini minimal 130 juta motor ada di Indonesia. Kalau misalnya saja pajak rata-rata Rp 200 ribu saja, maka pemerimaan pajaknya minimal Rp 26 triliun. Secara mengelola negara memang jadi asyik, diksi silam kerja tak pakai otak, tidak berkeringat, dapat pajak tinggi.
Nah kini pajak motor mau dinaikkan bertameng motor listrik tak kena pajak? Menyiasati agar warga beralih beli motor listrik?
Ambigukah?
Dampak motor seperti lebah di jalanan, polusi tinggi, kalau di Jakarta setiap hari ada yang mati kecelakaan, cobalah naik gojek motor di Jakarta 10 menit, lalu lap wajah sendiri dengan tisu, pasti abu-abu, tisu menghitam.
Mudahnya kredit motor dan banyakya motor, meringankan tangan pencoleng tumbuh, kambuh.
Lantas tuman keasyikan masyuk menjual motor dan mobil sebanyaknya sebagai menangguk pajak tanpa, maaf, ini diksi lama di Orba, tanpa pakai otak, rupanya nikmat tenan.
Walau DKI kini sudah ada Subway, Bis Trans Jakarta, LRT, kebutuhan akan transportasi publik tinggi kian meninggi, dan pasti lebih tinggi.
Saya bukan ingin memperbandingkan Serbia,salah satu negara saya kunjungi awal tahun ini dengan Indonesia. Saya hanya ingin mendeskripsikan kalau trem dua abad lalu, misalnya masih jalan, lengkap dengan pemanas ruangan di dinding kiri dan kanannya, menjadi pilihan transportasi utama kami malah, karena unik, lalu bus banyak, subway ada.
Di Serbia, naik semua kendaraan umum cukup membayar melalui SMS di gadget. Ada paket sekali jalan sesuai tujuan, ada paket harian dan seterusnya. Mengagetkan saya, hampir tak ada pengecekan apakah penumpang SMS atau membayar apa tidak?
Tampaknya negara sana mendidik warga jujur.
Saya tanya ke pemilik apartment kami menginap, berapa % warga gratis alias tak bayar?
“Hanya nol koma nol nol nol nol satu.”
Begitu jawabnya.
Warga menyadari transportasi publik bagian dari dirinya, memiliki sense of belonging.
Sehingga di dalam hati, saya patrikan niat, Serbia menjadi salah satu negara layak saya kunjungi kembali lebih dari sekali. Dan lalu bermimpi kenapa cuma patung knalpot ikan seperti di Pati dipajang, bukankah bangsa dan negara ini akan terkenal di dunia jika 19 juta motor dijadikan patung, pasti tingginya mengalahkan 10 kali Monas.
Lalu semua warga enjoy dengan transportasi publik, langit Jakarta membiru-biru, selalu. (*)