Permohonan Erzaldi-Yuri di MK Dinilai Ambigu, Harapan Kandas di Tengah Kekeliruan Data

JAKARTA – Sidang maraton yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) terkait perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) di seluruh Indonesia terus berlangsung. Untuk Pilkada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), tim kuasa hukum pasangan nomor urut 02, Hidayat Arsani-Hellyana, berkesempatan menyampaikan Keterangan Pihak Terkait bersamaan dengan Jawaban Termohon KPU Babel dan Keterangan Bawaslu Babel dalam Sidang Panel 1 yang digelar pada Senin siang, 20 Januari 2024.
Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Dalam kesempatan tersebut, Kuasa Hukum Pihak Terkait, Hidayat-Hellyana, yang terdiri dari Herdika Sukma Negara dan Agus Hendrayadi, menyampaikan bahwa permohonan pasangan 01 Erzaldi-Yuri dianggap kabur dan tidak jelas. Mereka juga menyatakan bahwa MK tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, karena materi permohonan sudah diakui sendiri oleh pemohon sebagai pelanggaran administrasi, yang merupakan kewenangan Bawaslu, KPU, DKPP, Sentra Gakumdu, PTUN, dan Mahkamah Agung.
“Berdasarkan hal-hal tersebut, Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan Eksepsi Pihak Terkait, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, dan dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, serta menyatakan sah dan berlaku Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 77 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2024,” kata Herdika saat membacakan petitum Keterangan Pihak Terkait di hadapan sidang.
Beberapa kesalahan dalam permohonan yang dibantah oleh tim kuasa hukum Hidayat-Hellyana antara lain terkait masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Ganda. Dalam permohonan Pemohon, disebutkan ada 63.763 DPT ganda di 133 TPS di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang. Namun, setelah dilakukan perhitungan oleh Pihak Terkait, jumlah DPT yang ada hanya sebanyak 62.767, dan akumulasi jumlah DPT di Kabupaten Bangka dan Pangkalpinang hanya 58.621.
“Dalil Pemohon tidak konsisten dan saling bertentangan,” ujar Dika, sapaan akrab Herdika.
Selain itu, jumlah suara sah yang disebutkan dalam permohonan Pemohon juga tidak sesuai dengan data yang dihitung oleh Pihak Terkait. Dalam permohonan disebutkan ada 32.748 suara sah dari 133 TPS di dua kabupaten/kota, namun setelah dihitung, jumlah suara sah hanya mencapai 29.331. Untuk Kabupaten Bangka dan Pangkalpinang, jumlah suara sah yang dihitung hanya 27.236.
“Perbedaan jumlah data yang disajikan oleh Pemohon antara dua kabupaten dan satu kota dengan kesimpulan akhir tentang DPT (63.763) dan total suara sah (32.748) menunjukkan kekeliruan serius yang berdampak pada ketidakpastian hasil yang dipermasalahkan Pemohon,” ungkap Dika.
Agus Hendrayadi menambahkan bahwa selain itu, permohonan Pemohon juga kabur dan tidak jelas karena terdapat perbedaan nama saksi yang disebutkan dalam permohonan dengan nama saksi yang tertulis pada Formulir C Hasil Salinan. Diantaranya, di TPS 14 Kelurahan Toboali, nama saksi dalam permohonan tertulis Heni Febriyanti, tetapi pada C Hasil ditandatangani oleh Rio Marwanda. Hal serupa terjadi di TPS lainnya, seperti TPS 5 Desa Delas, TPS 06 Desa Nyelanding, dan TPS 08 Desa Nyelanding, serta TPS 003 Desa Tiram.
“Perbedaan nama saksi ini menunjukkan bahwa permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur libel),” tegas Agus.
Dalam pokok permohonan, Pihak Terkait menyatakan bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon bersifat asumsi dan tidak disertai bukti yang jelas serta tidak dapat diukur secara pasti kebenarannya. Termasuk mengenai Rekomendasi dari Bawaslu Kabupaten Bangka kepada KPU Bangka yang tercantum dalam permohonan Pemohon, yang dianggap janggal karena terdapat ketidaksesuaian antara tanggal surat dan rapat pleno Bawaslu.
“Pemohon mendalilkan Surat Nomor 385/PM.00.02/K.BB-01/12/2024 bertanggal 3 Desember 2024, namun isinya mengutip keputusan rapat pleno Bawaslu pada 4 Desember 2024. Bagaimana mungkin surat sudah dibuat dan ditandatangani pada 3 Desember, sedangkan rapat pleno baru dilakukan sehari setelahnya?” jelas Agus.
Herdika dan Agus menekankan bahwa kesalahan dan kekeliruan dalam permohonan Pemohon tidak bisa diperbaiki lagi dalam persidangan, karena MK hanya memberikan kesempatan satu kali perbaikan yang sudah dilakukan oleh Pemohon, namun tetap banyak kekeliruan.
“Menurut ketentuan yang digariskan oleh MK, Pemohon tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki permohonannya. Kami optimis Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” pungkas Dika.