Artikel

Dari Suling ke Kursi Bupati, Kisah Riza Herdavid di Mata Sang Ayah

M. AMIN (79), duduk di teras warung kopi yang sederhana, ditemani secangkir kopi susu dan sebatang rokok. Pikirannya melayang ke masa lalu, mengingat perjalanan hidup anak bungsunya, Riza Herdavid, yang kini telah menjadi Bupati Bangka Selatan.

Sebagai ayah, ia merasa bangga sekaligus haru melihat perjuangan panjang yang dilalui anaknya hingga mencapai titik ini. Mungkin, tidak banyak yang tahu betapa berat perjalanan yang harus ditempuh David sejak kecil. Namun, sebagai orang yang melihatnya tumbuh dari dekat, Amin ingin menceritakan kisah ini.

David, begitu ia dipanggil, lahir pada 10 September 1983 di Lampur, Bangka. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Kehidupan keluarga mereka saat itu sangat sederhana. Amin sendiri adalah mantan karyawan PT Timah yang harus menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tahun 1992.

Saat itu, beban hidup terasa begitu berat. Amin dan istrinya, Hj. Erna, harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Namun, satu hal yang selalu mereka pegang teguh adalah tekad untuk menyekolahkan semua anak mereka hingga ke jenjang perguruan tinggi. Mimpi itu tidak mudah, tapi mereka yakin, pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk mengubah nasib.

Sejak kecil, David adalah anak yang pendiam. Ia tidak terlalu menonjol di SD Negeri 6 Sungailiat, tapi ada satu hal yang selalu membuatnya bersemangat, yaitu musik. Amin masih ingat betapa senangnya David ketika memainkan suling atau organ tunggal di acara-acara kampung.

Baca juga  Bupati Basel Ingatkan Pejabat Jangan Jadi Penghianat

Musik bukan sekadar hobi baginya, tapi juga menjadi pelarian dari kesulitan hidup yang ia hadapi. Ia sering menghabiskan waktu bermain musik hanya untuk mencari sedikit uang tambahan. Melihatnya seperti itu, hati Amin campur aduk. Di usianya yang masih belia, David sudah harus memikirkan cara untuk membantu keluarga.

Masa SMP di Negeri 1 Sungailiat menjadi titik balik dalam hidup David. Saat itu, ia mulai berjualan kue Rintak untuk membantu keluarganya. Amin tahu, hati David berat. Seharusnya, di usia itu, ia bisa bermain dan menikmati masa kecilnya seperti anak-anak lain.

Tapi, David memilih untuk memikul tanggung jawab yang seharusnya belum menjadi bagian dari dunianya. Ia tak pernah mengeluh. Baginya, ini adalah bentuk cinta dan pengorbanan untuk keluarga. Amin dan istrinya sering merasa bersalah, tapi David selalu mengatakan, “Ini bukan beban, Ayah. Ini tanggung jawabku.”

Setelah lulus SMU Setia Budi Sungailiat, David memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Perjuangannya tidak berhenti di situ. Ia harus bekerja sambil kuliah, menghadapi tekanan finansial dan akademis yang kerap membuatnya hampir menyerah.

Tapi, tekadnya untuk membahagiakan orang tua dan saudara-saudaranya memberinya kekuatan untuk terus bertahan. Amin masih ingat betapa seringnya David pulang ke rumah hanya untuk sekadar bertemu mereka, meski harus menempuh perjalanan jauh. Ia selalu bilang, “Ayah, Ibu, aku akan membuktikan bahwa semua perjuangan ini tidak sia-sia.”

1 2Laman berikutnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!