Opini : Hidayat
MENJELANG pemilihan kepala daerah serentak, khususnya di Kota Pangkalpinang, isu-isu sensitif terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) mulai berhembus tajam. Tuduhan yang menyakitkan dan tak berdasar terhadap sosok Calon Walikota Pangkalpinang, Dr. H. Maulan Aklil, S.I.P., M.Si., menyoroti betapa pentingnya menjaga kerukunan dalam masyarakat yang beragam seperti di Bangka Belitung.
Dalam konteks ini, Maulan Aklil bukan hanya seorang calon pemimpin, tetapi juga simbol dari upaya untuk menciptakan harmoni di tengah keanekaragaman. Masjid Agung Qubah Timah, yang dibangunnya, menjadi bukti nyata bahwa dia berkomitmen untuk menyatukan berbagai agama di daerah ini. Sayangnya, isu-isu negatif yang beredar justru mencederai upaya tersebut.
Hidayat, seorang tokoh masyarakat sekaligus pengusaha, mengungkapkan kekecewaannya terhadap tindakan oknum yang menyebarkan isu SARA. Dia menekankan pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama, terutama di daerah yang dikenal dengan toleransinya seperti Bangka Belitung. Kita di sini dikenal dengan fangin thongin jitjong, kerukunan umat beragama. Harapan Hidayat adalah agar dalam situasi demokrasi ini, masyarakat tidak terjebak dalam isu-isu yang dapat memecah belah.
Isu penistaan agama sering muncul sebagai senjata politik yang digunakan untuk menjatuhkan kandidat tertentu. Tuduhan semacam itu bisa merusak reputasi dan stabilitas sosial. Dalam sejarah, banyak kasus di mana calon kepala daerah dituduh melakukan penistaan agama hanya karena pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak menghormati ajaran agama tertentu. Ini berpotensi menimbulkan polarisasi di masyarakat, di mana dukungan dan penolakan terhadap kandidat terbagi berdasarkan latar belakang agama.
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa kehadiran seorang Muslim di tempat ibadah agama lain, seperti gereja, tidak otomatis menunjukkan bahwa dia telah berpindah agama. Dalam Islam, niat dan keyakinan adalah hal utama yang menentukan. Kehadiran di tempat ibadah lain bisa jadi sebagai bentuk dialog sosial, bukan tanda pengkhianatan terhadap iman.
Dari perspektif regulasi, pemerintah dan otoritas terkait telah berusaha untuk mengurangi penyebaran isu SARA dalam kampanye politik. Namun, tanggung jawab ini tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi juga pada media dan masyarakat. Media perlu memberikan informasi yang berimbang dan berbasis fakta agar publik tidak terprovokasi oleh berita palsu atau hoaks.
Masyarakat juga harus meningkatkan literasi media dan pemahaman tentang keberagaman. Dalam konteks pemilihan kepala daerah ini, kita perlu bersikap kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu yang bersifat provokatif. Organisasi kemasyarakatan dan tokoh agama memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat untuk menghormati perbedaan dan menjaga kerukunan.
Sebagai penutup, mari kita ingat bahwa pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi ajang untuk memilih pemimpin yang mampu mengayomi semua lapisan masyarakat, bukan menjadi ajang untuk memecah belah. Dengan menjaga kerukunan dan mengedepankan toleransi, kita dapat membangun Kota Pangkalpinang yang lebih baik dan harmonis. (*)